Kami bertemu pertama kali di Palembang. Rawamangun, bukan sebuah kata yang asing. Tetapi menjadi unik bila ditambahkan huruf ‘PCM’. Ketika tiba giliran presentasi dalam LPCRPM Award di Palembang, satu program unggulan yang mereka sampaikan, berupa pengiriman kader-kader muda untuk belajar di berbagai negara, untuk kemudian kembali. Mengabdi dalam persyarikatan Muhammadiyah.
![]() |
PCM Minggir berkunjung ke PCM Rawamangun |
Ketika tiba pengumuman pemenang. Menurut hitungan kami,
pesaing utama adalah PCM Weleri Kendal. Tetapi ternyata mereka menempati
peringkat ketiga, sedangkan juara pertama diraih PCM Rawamangun. Sebuah kejutan!
Kami pun penasaran dengan program-program yang mereka jalankan.
Alhamdulillah, silaturahmi terbangun. Selang beberapa waktu
dari Palembang mereka berkunjung ke PCM Minggir. Begitupun PCM Minggir,
melakukan kunjungan balasan ke PCM Rawamangun. Dan sebuah paseduluran kini
terbangun.
Berikut beberapa catatan kecil, yang menggambarkan paseduluran
itu. Kami rangkum dari tulisan Dwi Sumartono, S.P.
ANTARA MINGGIR & RAWAMANGUN
Catatan kecil.
(Bagian 1).
Peluh belum lagi kering. Baru saja saya duduk di kursi rotan ruang tamu.
Sebelumnya, saya bersama beberapa anggota JATAM melakukan test kandungan unsur hara pada lahan demplot. Yang nantinya akan ditanami pepaya dan Talas Bogor.
Tiba-tiba, tepat jam 15.36 ada WA masuk. Dari Pak Ketua PCM :
Ada tamu mau ke PCM Minggir.
Posisi sekarang di Bantul mau berangkat ke tempat kita.
Juara 1.
Siap di tempat?.
Sepersekian detik saya termenung. Berusaha mencerna maksud WA itu. Sayapun paham.
"Saya posisi di rumah, Pak. Jam brp rombongan akan ke Ngloji ?", tanya saya.
"Otw dari Bantul !",
"Owh. Insha Allah. Siap !", balas saya.
Rupanya, berita itu juga dishare di group Tim 13. Suasana group gempar sebentar.
"Aku durung isoh merapat. Isih nang sekolahan", jawab Bu Istariyah.
"Hujan deras. Gludug banter. Saya gak berani ke Ngloji", jawab Bu Enny.
"Tamune sekarang posisi dimana dan berapa orang ?", tanya Mas Bas.
"Untuk lebih jelasnya, kontak sendiri langsung sama Pak Ketua", kata Mas Sekjend.
Tak ada balasan dari Pak Ketua.
Singkat cerita sayapun meluncur ke Ngloji. Sambil membawa cabe keriting. Hasil panenan pagi harinya.
"Sekalian jalan. Nanti bisa mampir setor ke bakul cabe", pikir saya.
Hujan masih mengguyur. Ketika saya sampai di Wisma Ngloji. Ruang tengah Ngloji sudah terbuka. Tanda sudah ada orang yang datang. Tapi masih sepi.
Ups, ternyata yang sudah datang adalah Mas Sekjend.
"Lha iki tamune wong pira je ?", tanya saya.
(Ini tamunya orang berapa ya ?).
"Dikandhani, aku ki ora ngerti babar blas. Tamune jumlahe pira. Takon langsung pak Ketua wae", sergahnya.
(Dibilangin, saya gak ngerti. Tamunya berapa orang. Tanya langsung saja ke Pak Ketua).
Suasana hening. WA group 13 juga sepi. Di luar, masih hujan terang - hujan terang. Saya sempat melirik jam besar yang tertempel dinding : Sudah jam 16.30.
"Tamune sida teka ora ya ?", batin saya.
(Ini tamunya jadi datang tidak ya ?).
Tiba-tiba, muncullah Pak Nur Hidayat, sang Bendahara PCM.
Lumayan. Kedatangan pak Nur membuat suasana tidak lagi sepi. Berdua kami ngobrol. Sementara, Mas Sekjend masih sibuk menyiapkan makanan dan minuman ala kadarnya.
Diluar masih ajeg. Hujan terang - hujan terang.
Hari sudah menjelang malam. Pepohonan di jauh sana sudah tak tampak. Hitam gelap. Sampai akhirnya, gema adzan Maghribpun menyentuh telinga. Segera, kami bertiga bergegas. Melangkah ke masjid.
Tapi, hanya beberapa langkah saja. Tiba tiba muncullah dua mobil berbelok ke kompleks Ngloji.
Yang di depan, Avanza putih. Mobilnya pak Ketua PCM.
Di belakangnya, Alphard hitam. Plat B.
Kami langsung paham. Mereka adalah rombongan tamu dari PCM Rawamangun. Yang sedari tadi kami tunggu.
"Berapa orang semuanya, Pak ?", bisik saya ke Pak Ngadimin, Ketua PCM.
"Lima orang, Mas", jawabnya.
"Tadi singgah sebentar di rumah. Putar putar lihat sawah dan kandang di Jogorejo", sambungnya.
Mas Indra KOKAM tanggap. Ia segera mengarahkan Alphard hitam itu untuk parkir di depan masjid Baitul Izzah.
Tak berapa lama, lima orang penumpang Alphard hitam itu keluar. Kami menghambur, menghampiri mereka.
Tiba tiba, mata saya auto fokus.
Tertarik pada satu orang penumpang. Berseragam Muhammadiyah hijau. Berbadan tegap. Kepalanya nyaris, mirip Ahmad Dhani. Kacamatanya diangkat, dinaikkan di atas kepalanya.
Pak Ketua PCM sepintas menjelaskan gambaran kompleks Wisma Ngloji Minggir.
Si "Ahmad Dhani" nampak manggut manggut.
Pembicaraan sepintas itu terhenti ketika suara iqomah memanggil.
Selepas jamaah sholat Maghrib, Pak Ketua mengajak rombongan melangkah ke belakang. Mereka nampak berjalan berjingkat jingkat. Menghindari genangan air yang berada di seputar Ngloji.
Hanya beberapa langkah, sampailah di depan Pondok Pesantren Ngloji.
Saya sengaja ingin mengenal lebih jauh dengan Si "Ahmad Dhani".
Saya mendekatinya. Menyelaminya sekali lagi.
"Yang fenomenal adalah sejarah Ngloji Pak !", jelas saya.
"Wah, kenapa rupanya Bang ?", tanyanya balik.
"Ngloji ini adalah bangunan Belanda. Sekarang sudah menjadi milik Muhammadiyah. Kami membeli dari pemilik sebelumnya dengan harga 2,2 M", jelas saya.
Si "Ahmad Dhani" terkejut.
"Untuk ukuran Bapak, 2.2 M itu mungkin kecil. Tapi bagi kami yang di pelosok desa ini, uang segitu sudah amat sangat besar", jelas saya.
"Saya tahu itu, Bang !. Saya paham !", jelasnya.
"Ini luar biasa !", sambungnya.
Pak Ketua mengajak rombongan untuk masuk ruangan Ngloji.
Saya merangsak. Terus mendampingi si "Ahmad Dhani" dan mengajaknya ngobrol. Akhirnya, kami sampai di depan Ngloji. Sebelum masuk ke ruangan sekretariat PCM, saya menunjukkan "sesuatu" kepadanya.
"Pak, ini adalah prasasti yang ditandatangani langsung oleh Pak Haidar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah", jelas saya.
"Pak Haedar berkunjung ke Minggir. Menghadiri sebuah program dari Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah. Yakni : Tanam Raya Padi sekaligus deklarasi Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM) Minggir", jelas saya.
"Tahun berapa itu Bang ?", tanyanya.
"Tahun 2018. Bulan September", jelas saya.
"Selepas deklarasi JATAM, Pak Haedar kami ajak ke Ngloji ini. Waktu itu, kondisi Ngloji masih jelek. Belum seperti sekarang ini", sambung saya.
"Apa kata Pak Haedar ketika melihat gedung ini ?", tanya Si "Ahmad Dhani".
"Beliau berpesan : Gedung ini jangan dibongkar. Nanti Pimpinan Pusat akan membantu dana untuk membantu renovasi di bagian bagian yang sudah mulai rusak. Tapi, bangunan utamanya harus tetap dipertahankan", lanjut saya, menirukan Pak Haedar ketika itu.
"Waktu itu PP ngebantu berapa Bang ?", tanya si "Ahmad Dhani".
"273 juta Pak", jelas saya.
"Kami di Rawamangun tidak punya bangunan seperti ini Bang. Ini luar biasa !", kata si "Ahmad Dhani" singkat.
(*)
Siapa sebenarnya si "Ahmad Dhani" ?.
bersambung.
Minggir, 21 Nop. 2024.
Ba'da Isya.
Uwik Dwi S.
SESAAT DI WISMA NGLOJI
Catatan kecil.
(Bagian 2).
![]() |
PCM Rawamangun mengunjungi Wisma Ngloji |
Tiba tiba, terdengar suara ajakan. Arahnya dari ruang sekretariat PCM.
"Mas Dwi, ayo masuk. Ajak juga tamunya. Kita ngobrol dulu di dalam", kata Pak Ngadimin.
Kami bergegas masuk.
Mas Sekjend duduk di kursi menghadap Selatan, dengan latar belakang ornamen Kantor Sekretariat Cabang Minggir. Tiga orang tamu menghadap ke Barat. Pak Ketua menghadap ke Timur. Si "Ahmad Dhani" duduk disamping Pak Nur Hidayat, menghadap Utara.
Sedangkan saya duduk bersebelahan dengan Mas Sekjend. Tapi, tak lama kemudian, saya bergeser. Mendekati Pak Ketua.
Pak Ketua mengawalinya dan mulai membuka percakapan.
Ketika itu, dari Minggir yang hadir baru 4 orang. Pak Ketua memperkenalkan kami satu per satu : saya, Mas Sunu alias Mas Sekjend dan Bendahara : Pak Nur Hidayat. Kamipun ngobrol santai.
Suasana bertambah hangat ketika Mas Sekjend menyajikan teh manis panas "kebul kebul".
Di tengah seru serunya ngobrol, tiba tiba muncullah berturut turut : Mas Basyori, Mas Antok dan Kang Gun.
Tentu, Anda masih ingat dengan Kang Gun. Yang ketika keberangkatan rombongan Minggir ke Palembang, ia sempat batal ikut serta, karena ia jatuh dari motornya. Jari manisnya mendapat 8 jahitan.
Tapi, beberapa hari kemudian, ia nekad menyusul. Berangkat sendiri ke Palembang. Naik bus.
Semakin lama obrolan semakin hangat.
Pada suatu kesempatan, tiba tiba, si "Ahmad Dhani" membuka suara. Fokus perhatian saya ternyata bukan hanya pada fisiknya yang mirip Ahmad Dhani. Melainkan juga ketika ia berbicara. Logatnya mengingatkan saya kepada adik ipar saya yang orang Jakarta. Bicaranya ceplas ceplos. Terbuka. Apa adanya.
Dari perbincangan hangat itu, tahulah saya. Ternyata, si "Ahmad Dhani" itu adalah Ketua PCM Rawamangun.
Nama aslinya : Welly Pasaribu. Dari namanya, bisa dikenali asalnya.
Ia mewakili rombongan PCM Rawamangun mengutarakan maksud berkunjung ke Minggir.
"Sebetulnya, kami ke Jogja ini karena kami ingin menemui Pak Jamaludin Ahmad untuk suatu keperluan. Tapi, tidak tahu bagaimana kok tiba tiba, kami ingin sekali menengok saudara kami, yang di Minggir ini", ujar Pak Welly.
"Tapi, sebelumnya, kami mohon maaf. Karena mungkin waktunya yang kurang tepat dan begitu mendadak", sambungnya.
Begitulah, bincang santai itu berjalan begitu asyiknya. Hangat cair mengalir. Waktupun tanpa moderator, tapi sempat terjadi diskusi dan tanya jawab yang ringan tapi berbobot.
Salah satu yang juga menjadi fokus pandangan saya adalah seorang Bapak yang duduk di pojok paling Utara.
Sedari tadi saya juga memperhatikan beliau. Tapi, rasanya lupa lupa ingat. Nah, baru ketika beberapa kali beliau berbicara dan bertanya, barulah saya faham.
Rupanya, Bapak tadi pernah berkunjung ke Stand PCM Minggir ketika Expo di Palembang lalu. Dan, kami bersama teman teman sempat berdiskusi lama dengan beliau.
Saya baru ingat. Namanya : Fauzi.
Dari obrolan hangat itu, barulah kami juga tahu. Rupanya, Pak Fauzi itu rumahnya juga di Rawamangun.
Pada suatu kesempatan, Pak Fauzi bertanya :
"Dari uraian panjang lebar dari bapak bapak tadi, saya ingin bertanya satu hal. Yakni : apa yang menyebabkan jamaah Muhammadiyah di Minggir ini bisa sedemikan terasa gerakannya ?".
Beberapa dari person berupaya menjawab pertanyaan Pak Fauzi itu.
"Karena kami merasa terasing. Walaupun kami berasal dan tinggal di Minggir, tapi kami belum bisa berbuat banyak. Kami belum menjadi subyek", jawab Mas Sunu Sekjend.
"Terlebih ketika kami teringat akan fenomena di masa lalu. Ketika pada dekade 70 sampai 80 an di Minggir ini terjadi "gerakan kristenisasi" yang sangat masif", sambungnya.
"Tambahan lagi. Bahwa di Minggir ini masih adanya kegiatan yang berbau TBC", imbuhnya.
"Menurut saya, menggeliatnya gerakan Muhammadiyah di Minggir ini terjadi terutama setelah Wisma Ngloji bisa kita beli", jelas saya.
"Kenapa begitu Bang ?. Apa sebabnya ?", tanya si "Ahmad Dhani. Ehhh salah : Pak Welly.
"Karena Ngloji adalah iconnya Muhammadiyah Minggir", jawab beberapa orang hampir bersamaan.
"Puncak perjuangan warga Muhammadiyah Minggir tergambar ketika berhasil mendapatkan dan membeli Wisma Ngloji", imbuh saya.
"Itulah momentum paling bersejarah. Yang bukan hanya bisa menggerakkan namun juga menyatukan semua Ortom, AUM maupun seluruh komponen Muhammadiyah Minggir", imbuh Pak Ketua.
Mendengar penjelasan kami yang bertubi tubi itu, hampir semua tamu dari Rawamangun itu terdiam.
Tiba tiba,
"Saya paham. Saya paham. Saya seperti ikut merasakan getaran itu", kata Pak Welly singkat.
Suasana menjadi hening sejenak. (*)
bersambung
Wisma Ngloji, 22 Nop. 2024.
Sambil meliput rapat Lembaga Property.
Uwik DS.
SEPENGGAL KISAH DI MUSEUM MUALAF
Catatan kecil.
(Bagian 3).
![]() |
PCM Rawamangun melihat Museum Muallaf |
Begitulah suasananya, ketika ngobrol dalam frekuensi yang sama. Waktu yang memang hanya sebentar, menjadi terasa amat sangat singkat. Tak terasa sudah lebih dari 30 menit kami ngobrol di sayap Utara ruang Ngloji itu.
Di luar masih hujan terang - hujan terang. Teh panas di gelas sudah menjadi dingin. Beberapa gelas sudah tinggal seperempatnya. Bahkan, sudah ada yang habis diminum.
Pak Ketua memiringkan badannya. Mengarahkan kepalanya mendekat ke telinga saya. Beliau membisikkan "sesuatu".
Saya langsung paham, apa maksudnya.
Saya segera beranjak. Berdiri. Meninggalkan ruangan. Saya segera mencari Mas Sekjend. Yang kebetulan sudah lebih dulu meninggalkan ruangan.
Pesan dari Pak Ketua langsung saya sampaikan. Mas Sekjendpun langsung paham.
"Ya wis beres. Mengko tak urusane", jelasnya.
(Beres. Nanti saya yang atur).
Kamipun balik ke ruangan. Mas Sekjend kembali duduk di tempat semula.
Rupanya, pembicaraan masih sangat seru. Nampak Pak Fauzi yang lebih dominan bertanya. Pak Ketua yang menjelaskan. Sesekali diimbuhi oleh Mas Antok dan Mas Bas.
"Mohon maaf Pak Fauzi dan bapak bapak dari Rawamangun yang lain. Mohon ijin bertanya Bapak. Bapak bapak malam ini kira kira buru buru atau tidak ya ...?", tanya Mas Sekjend tiba tiba.
Belum lagi Mas Sekjend menyelesaikan kalimatnya, Pak Welly langsung menanggapi.
Rupanya, beliau terlalu pintar untuk membaca ke mana arah pertanyaan itu selanjutnya.
"Waduh. Maaf beribu maaf. Kami ini hanya sebentar saja. Kami harus buru buru ini", pungkas Pak Welly.
Tapi, bukan Mas Sekjend namanya, kalau tidak bisa kembali membujuknya.
"Kalau begitu, sekalipun buru buru kami berharap, Bapak Bapak harus singgah dulu ke Museum Mualaf", jelas Mas Sekjend.
"Wow. Museum Mualaf ?", tanya Pak Welly.
"Baiklah. Kalau ke Museum Mualaf, kami mau", sambungnya.
Maka, segala sesuatunya dipersiapkan. Mas Sekjend segera mengabari penanggung jawab Museum Mualaf : Pak Darum Ansori. Serta menghubungi Ketua PRM Sendangarum : Pak Maryanto.
Rombongan segera meluncur, berbarengan dengan terdengarnya gema Adzan Isya.
Singkat cerita, setelah berjamaah Isya di Masjid Nurul Asfar, rombongan di antar masuk ke Museum Mualaf. Yang letaknya hanya berdampingan dengan Masjid Nurul Asfar itu.
Museum Mualaf sejatinya, dulu adalah ruangan Madjid Nurul Asfar yang lama.
Seiring dengan semakin banyaknya orang yang berkeinginan menjadi mualaf, maka dipandang perlu untuk mempunyai sebuah tempat yang lebih representatif.
Gayung bersambut.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang berkeinginan mewakafkan sebidang tanah dan rumah untuk dibangun sebuah masjid. Lokasinya persis bersebelahan dengan masjid yang lama.
Singkat cerita, rumah tersebut lalu dirobohkan. Peristiwanya melibatkan lebih dari 100 orang. Yang sebagian besar adalah anggota KOKAM dan pemuda.
Dengan bermodalkan hanya uang belasan juta saja, lalu pembangunan masjid Nurul Asfar dimulai.
Dengan dukungan dari jamaah dan seluruh pihak, akhirnya Masjid Nurul Asfar bisa diselesaikan.
Masjid Nurul Asfar kini menjadi pusat pembinaan Mualaf di terutama di wilayah Dusun Daratan dan sekitarnya. Masjid itu memang berada di tengah lingkungan masyarakat, yang 90% nya beragama Katolik.
Ketika berada di Museum Mualaf itu, Pak Darumlah yang lebih banyak bercerita. Ia yang lebih paham lika liku dan dinamika perjuangan mendirikan Museum itu serta melakukan pembinaan kepada para saudara saudara kita yang mualaf itu.
Ketika di ruangan museum, Pak Darum menunjukan berbagai foto berukuran besar. Yang ditempel mengelilingi tembok museum.
Ada foto kegian pengajian, pensyahadatan, pembinaan ekonomi mualaf dll.
"Yang saya paling berkesan adalah foto ini", katanya, sambil menunjukkan sebuah foto yang berada di ujung tembok sebelah Utara.
"Ini adalah proses pensyahadatan seorang pemuda yang berasal dari Amerika Serikat. Ini unik sekali. Karena kami tidak bisa berbahasa Inggris, maka kami mengundang seorang Ustadz dari Cabang Minggir yang kebetulan paham bahasa Inggris. Beliaulah yang memandu proses pembacaannya", sambungnya.
Setelah panjang lebar memberikan penjelasan, akhirnya Pak Darum mengajak rombongan untuk kembali ke ruang utama masjid.
Di ruang utama itulah, akhirnya Pak Ketua memberikan waktu sepenuhnya kepada rombongan tamu untuk memberikan tanggapan atau komentar.
"Satu pertanyaan saya. Museum Mualaf tentu harus bisa mendampingi dan membina jamaah mualaf ini yang jumlahnya semakin meningkat itu. Karena saya yakin, tentu, program ini tidak bisa dilakukan oleh hanya seorang saja. Jadi, bagaimana strateginya ?", tanya Pak Fauzi.
"Tentu, kami harus terus berkoordinasi dengan Pimpinan Cabang. Dan, satu lagi, kami harus bisa mencari dan memanfaatkan semua jaringan. Salah satu jaringan yang sangat membantu dan mendukung kegiatan kami adalah : UMY", jelasnya.
Suasana diam sesaat. Semuanya seperti berusaha untuk mencerna penjelasan itu.
Tiba tiba, Pak Fauzi seperti memberi kode kepada Pak Welly Pasaribu. Memintanya untuk sekedar menanggapi.
"Waduh, apa lagi yang mau saya komentari. Saya seperti tidak bisa berkata kata lagi. Sewaktu di Ngloji tadi disampaikan bahwa Minggir tidak atau belum punya dana yang cukup untuk bisa berbuat lebih. Maka, malam ini saya bisa mengatakan bahwa, tidak punya uang saja Minggir sudah seperti ini. Bayangkan kalau seandainya punya uang", ujar Pak Welly.
"Maksudnya begini Bang Welly. Apa saran dan masukan Abang untuk kami di Minggir ini ?", tanya Pak Ketua.
"Wah, apa lagi yang mau saya katakan. Saya kira, saya sudah tidak akan banyak bicara. Semakin saya banyak bicara, semakin saya malu hati pada Minggir", sambungnya.
Mendengar jawaban Pak Welly itu, gantian tim tuan rumah yang terdiam sesaat.
Tiba tiba, si "Ahmad Dhani" melanjutkan.
"Pada kesempatan malam hari yang sungguh membuat kami haru biru ini, maka kami, secara lesan mengundang PCM Minggir untuk berkunjung ke Rawamangun", jelasnya.
Akhirnya, rombongan Juara 1 PCM Unggulan pada CRM AWARD 2024 itu pamit undur diri.
Waktupun terus berjalan. Malam semakin gelap. Hujan masih sesekali mengguyur, kendati tidak begitu deras.
Dari halaman Museum Mualaf itu, kami melepas kepergian mereka.
Alphard hitam, ber plat B itu bergerak meninggalkan kami. Sejurus kemudian sudah tak lagi tampak, berbelok di tikungan.
Tiba tiba, Pak Maryanto, Ketua PRM Sendangarum itu berkata lirik kepada saya :
"Mas Dwi, kapan Minggir punya armada kayak yang platnya B tadi itu ?.
"Nanti Pak. Kalau kita sudah ke Rawamangun. Lalu, Minggir bisa menjual ratusan ton Talas Pratama ke sana", jelas saya.
He he he.
(*)
Selesai.
Minggir, 23 Nop. 2024.
Uwik Dwi S.
Baca Juga : Balasan Kunjungan ke PCM Rawamangun