-->

9 Falsafah Jawa Paling Terkenal, Ajaran Luhur Bangsa Indonesia

Sejarah panjang kebudayaan Jawa telah melahirkan beragam falsafah jawa yang diyakini dan menjadi tuntunan dalam kehidupan masyarakat. Meskipun seiring kemajuan zaman, banyak nilai-nilai filosofi jawa tersebut yang tergerus dan ditinggalkan. Maka diperlukan kembali usaha serius untuk mengajarkan ajaran-ajaran adiluhung tersebut kepada generasi sekarang.

Falsafah Jawa

Di sekolah, terutama tingkat dasar dan menengah pertama, memang ada pelajaran Bahasa Jawa, yang di antaranya mengajarkan tentang falsafah jawa dan maknanya. Akan tetapi porsinya hanya singkat, tidak sebanding dengan muatan pelajaran yang harus disampaikan kepada para siswa.

Beberapa falsafah jawa sebetulnya sudah akrab dan memiliki nilai filosofi yang diterapkan bangsa Indonesia secara nasional. Sebut saja semboyan dalam dunia pendidikan yang dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani atau versi lengkapnya Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.


Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya ketika di depan atau sebagai pendidik/guru atau lebih luas sebagai seorang pemimpin harus bisa memberikan teladan, sedangkan Ing Madya Mangun Karsa, ketika berada di posisi tengah, orang tua murid/pegawai/staf harus memiliki keinginan, ide dan peran yang bermanfaat. Tut Wuri Handayani, sebagai murid/rakyat selayaknya mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh guru atau pemimpin yang adil dan bijaksana.

Dengan tiga komponen tersebut niscaya dunia pendidikan atau lebih luas lagi sebuah bangsa akan mencapai keadilan dan kesejahteraan lahir batin. Sebab orang-orang di dalamnya berperan sesuai dengan kapasitasnya secara amanah.

Masih banyak lagi falsafah jawa, termasuk falsafah jawa kuno yang sampai sekarang tetap selaras dengan nilai-nilai kebaikan universal seperti ajaran tentang sabar, ajaran moral, ajaran kepemimpinan, ajaran tentang wanita dan sebagainya. Berikut beberapa falsafah yang berhasil dirangkum Tim Kabare Minggir:

Falsafah Jawa Tentang Cinta

Cinta dalam arti luas. Tidak terbatas cinta antara seorang pria kepada wanita atau sebaliknya. Tetapi cinta di sini adalah rasa kasih sayang dan welas asih yang universal. Terdapat beberapa falsafah jawa yang mengajarkan keluhuran cinta.


Di antara falsafah tentang cinta yang terkenal dan sering dibicarakan orang adalah Witing tresno jalaran soko kulino. Witing mulyo jalaran wani rekoso. Artinya cinta bisa tumbuh karena terbiasa, sedangkan kemuliaan ada karena berani untuk bersusah-payah/bekerja keras.

Falsafah Jawa Tentang Pemimpin

Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro, artinya sebagai manusia harus berusaha menghadirkan keselamatan, ketenteraman sekaligus berusaha memberantas angkara murka dan kesewenang-wenangan.

Ini mengajarkan kepada manusia agar menghadirkan kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya, sekaligus memiliki keberanian untuk melawan tindakan jahat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Apalagi sebagai seorang pemimpin, sudah sepantasnya mengayomi rakyatnya.

Falsafah Jawa Nglurug Tanpa Bala


Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho artinya berjuang tanpa mengandalkan banyakanya prajurit/massa, meraih kemenangan tanpa harus merendahkan dan mempermalukan lawan, menjadi sakti atau berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuatan dan menjadi kaya tanpa harus bermodal harta benda.

Ini merupakan ajaran adiluhung yang kaya makna. Agar seseorang bisa bersikap bijaksana ketika dalam posisi apapun. Termasuk ketika ia berada dalam posisi berkuasa, memiliki kekuatan dan modal harta kekayaan. Karena kemuliaan lebih didasarkan kepada sikap dan akhlak.

Falsafah Jawa Tentang Moral

Sopo Sing Kelangan Bakal Diparingi, Sopo Sing Nyolong Bakal Kelangan artinya siapa yang kehilangan sesuatu akan diberi ganti, sebaliknya siapa yang mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya justru akan kehilangan.

Filosofi ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu berbuat jujur dan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, seperti korupsi dan sebagainya.

Falsafah Jawa Aja Kumniter


Ojo Kuminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Cilaka, artinya jangan merasa pintar agar tidak terjerumus, dan jangan berbuat curang agar tidak mendapatkan celaka. 

Seseorang menempatkan dirinya pada posisi semestinya, meskipun memiliki kepandaian, tidak untuk sombong. Sebab masih banyak orang lain yang memiliki kepandaian lebih, seperti pepatah di atas langin masih ada langit.

Akeh Durung Mesti Cukup, Sethithik Durung Mesti Kurang, artinya sesuatu yang banyak belum tentu mencukupi dan sedikit belum tentu berarti kekurangan. Karena cukup dan tidaknya tergantung kepada suasana hati dalam menerima setiap keadaan.

Falsafah Jawa Tentang Sabar

Alon-alon Waton Kelakon artinya pelan-pelan asalkan bisa tercapai. Namun secara mendalam makna filosofi yang lebih tepat adalah kemauan seseorang untuk melalui proses dengan sabar, alon tidak berarti ‘lambat’ tetapi lebih dimaknai sebagai menjalani tahapan dengan sabar sampai tujuan tercapai.

Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan artinya jangan mudah untuk sakit hati ketika mendapatkan musibah/bencana, dan jangan gampang sedih ketika kehilangan sesuatu. 

Kata-kata bijaksana ini sempat diungkapkan lagi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X beberapa saat lalu, ketika menyampaikan pesan kepada masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi wabah Virus Corona.


Falsafah Jawa Tentang Pendidikan

Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman artinya jangan mudah takjub, jangan mudah menyesal, jangan mudah kaget dan jangan mudah bermanja. Keempat sikap ini sangat penting apalagi bagi mereka yang sedang belajar.

Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.

Pada dasarnya filsafat jawa selaras dengan berbagai agama, terutama agama Islam. Karena ajaran-ajaran di dalamnya bersifat universal. Seperti ajaran tentang Sang Pencipta, hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. 

Dulu pembelajaran nilai-nilai luhur budaya jawa bisa dikenal melalui pitutur para sesepuh. Namun kini banyak berkurang karena selain tidak banyak lagi yang paham, juga penggunaan bahasa jawa sudah mulai terkikis dan digunakan bahasa Indonesia. Sehingga kutipan-kutipan kalimat bijak dalam bahasa jawa jarang disebut.

Semoga ke depan, nilai-nilai luhur budaya jawa masih tetap bisa dipertahankan/dilestarikan dan menjadi kekayaan khazanah budaya Indonesia. Dan paling penting, terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat. [r]

LihatTutupKomentar