Sunday, April 12, 2020
Catatan kecil.
--------
Nampak seorang bapak duduk di atas pagar tembok sebuah rumah. Di sebuah pertigaan. Dengan sandal jepit masih melekat, kakinya terjuntai ke bawah.
Pakaiannya nampak sudah tidak lagi baru. Celana panjangnya nampak kusam di sana sini. Kaos biru lengan panjang membalut tubuhnya. Salah satu lengannya, dilinting sampai ke siku. Topi dan maskernya nampak rapat menutup wajahnya.
Di depannya nampak sepeda onthel tua. Lengkap dengan kronjong di bagian belakangnya.
Dari semua perlengkapan yang dibawa, sudah jelaslah profesinya. Bakul ayam.
Saya hanya mengamati di kejauhan. Di seberang jalan. Di bawah pohon. Entah sudah berapa lama dia berhenti di tempat itu. Seperti hendak melepas penat. Setelah jauh mengayuh sepedanya. Nampak kronjong masih kosong. Tak ada ayam seekor pun.
Sudah hampir 45 menit.
Baca Juga : Minggir Miliki Kelompok Pelestari Parijoto
Dia berdiri. Menghampiri sepeda onthelnya. Dan bergegas pergi.
Saya ikuti dari belakang. Tanpa dia tahu. Pada sebuah tikungan, dia berhenti lagi. Dia sandarkan sepedanya di bawah sebuah pohon.
Saya beranikan diri menghampiri. Menyapanya. Dan menannyakan sesuatu.
Saya mendapatkannya. Bahwa sekarang sepi. Benar-benar lagi sepi pembeli.
"Niku kronjonge kok kosong pak ?", tanya saya.
"Kula mbeta ayam sekawan Mas. Mruput wau enjing sampun pajeng", jawabnya.
Ternyata hari ini, dia tidak kulakan ayam. Takut tidak laku lagi. Empat ayamnya yang sudah laku tadi pagi itu adalah hasil kulakan hari sebelumnya. Itupun dengan terlebih dahulu berkeliling.
Rupanya, seharian kemarin dia mutar muter ke berbagai pasar. Dia tawarkan ke bakul pengepul. Namun tidak ada yang laku seekor pun.
Ahh....
Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya meminta maaf telah mengganggunya.
*
Beberapa hari setelahnya, juga pada sebuah pagi.
Saya berniat mengurangi beberapa ekor ayam peliharaan. Saya undang bakul ayam yang telah menjadi langganan. Dia seorang ibu. Rupanya, pagi itu dia tidak sendiri. Dia bersama suaminya.
Saya sengaja pancing beberapa pertanyaan. Jawabnya : kurang lebih sama dengan jawaban bapak bakul yang bermasker itu.
"Ajeng ngersakken regi pinten Mas ?", tanya Sang Ibu bakul.
Saya terkesiap. Tiba-tiba saya teringat bapak bakul yang bertopi dan bermasker itu. Saya membayangkan pak bakul yang muter-muter membawa empat ayam. Yang seharian tidak ada satu ekor pun ayamnya laku terjual itu. Saya betul-betul tak tega untuk menyebut sebuah angka nominal.
"Mpun Bu, sak kersa njenengan mawon", kata saya.
"Sedaya satus enembelas ewu, pareng mboten Mas ?", tanya Sang Ibu.
"Nggih Bu. Matur nuwun sanget. Alhamdulillah", sambung saya.
Beberapa ayam itupun dimasukkan dalam sebuah wadah dari kain bekas tepung terigu yang dijahit ulang.
"Ben dinten saget pajeng Bu?', tanya saya.
"Nggih mboten mesti Mas. Kadang untung. Kadang nggih rugi. Mpun biasa tiyang bebakul niku", jawab suaminya.
"Tapi sak niki pancen sepi sanget Mas". Nanging nggih pripun malih. Kawontenane nggih sedaya kados ngaten", imbuh Sang Ibu.
"Mugi-mugi panjenengan diparingi kesehatan tuwin rezeki ingkang gangsar Bu, Pak", kata saya.
"Aamiin. Matur nuwun Mas"
Setelahnya, suami istri bakul itupun bergegas pergi. Mencari tambahan ayam yang lain. Untuk dijual kembali.
Saya pandangi beberapa lembar rupiah dari ibu bakul itu. Tanpa sadar. Saya menarik nafas panjang. Dan kemudian, mengembuskannya pelan sekali.
Begitu terasa dampak pandemi ini.
Seberapa besar pengaruhnya ? Tak perlu jauh-jauh. Mari kita lihat dan rasakan masing-masing. Anda melihat diri Anda. Sayapun demikian.
Dan tak terasa bibir ini bergerak pelan.
Yaa Rabb, kami bermohon kepadaMu. Semoga Engkau beri kami kekuatan untuk menjalani ujianMu ini dengan sabar dan ihlas.
Aamiin.
Ahad, 12 April 2020.
(*) DS
--------
Nampak seorang bapak duduk di atas pagar tembok sebuah rumah. Di sebuah pertigaan. Dengan sandal jepit masih melekat, kakinya terjuntai ke bawah.
Pakaiannya nampak sudah tidak lagi baru. Celana panjangnya nampak kusam di sana sini. Kaos biru lengan panjang membalut tubuhnya. Salah satu lengannya, dilinting sampai ke siku. Topi dan maskernya nampak rapat menutup wajahnya.
 |
| Pedagang Ayam |
Di depannya nampak sepeda onthel tua. Lengkap dengan kronjong di bagian belakangnya.
Dari semua perlengkapan yang dibawa, sudah jelaslah profesinya. Bakul ayam.
Saya hanya mengamati di kejauhan. Di seberang jalan. Di bawah pohon. Entah sudah berapa lama dia berhenti di tempat itu. Seperti hendak melepas penat. Setelah jauh mengayuh sepedanya. Nampak kronjong masih kosong. Tak ada ayam seekor pun.
Sudah hampir 45 menit.
Baca Juga : Minggir Miliki Kelompok Pelestari Parijoto
Dia berdiri. Menghampiri sepeda onthelnya. Dan bergegas pergi.
Saya ikuti dari belakang. Tanpa dia tahu. Pada sebuah tikungan, dia berhenti lagi. Dia sandarkan sepedanya di bawah sebuah pohon.
Saya beranikan diri menghampiri. Menyapanya. Dan menannyakan sesuatu.
Saya mendapatkannya. Bahwa sekarang sepi. Benar-benar lagi sepi pembeli.
"Niku kronjonge kok kosong pak ?", tanya saya.
"Kula mbeta ayam sekawan Mas. Mruput wau enjing sampun pajeng", jawabnya.
Ternyata hari ini, dia tidak kulakan ayam. Takut tidak laku lagi. Empat ayamnya yang sudah laku tadi pagi itu adalah hasil kulakan hari sebelumnya. Itupun dengan terlebih dahulu berkeliling.
Rupanya, seharian kemarin dia mutar muter ke berbagai pasar. Dia tawarkan ke bakul pengepul. Namun tidak ada yang laku seekor pun.
Ahh....
Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya meminta maaf telah mengganggunya.
*
Beberapa hari setelahnya, juga pada sebuah pagi.
Saya berniat mengurangi beberapa ekor ayam peliharaan. Saya undang bakul ayam yang telah menjadi langganan. Dia seorang ibu. Rupanya, pagi itu dia tidak sendiri. Dia bersama suaminya.
Saya sengaja pancing beberapa pertanyaan. Jawabnya : kurang lebih sama dengan jawaban bapak bakul yang bermasker itu.
"Ajeng ngersakken regi pinten Mas ?", tanya Sang Ibu bakul.
Saya terkesiap. Tiba-tiba saya teringat bapak bakul yang bertopi dan bermasker itu. Saya membayangkan pak bakul yang muter-muter membawa empat ayam. Yang seharian tidak ada satu ekor pun ayamnya laku terjual itu. Saya betul-betul tak tega untuk menyebut sebuah angka nominal.
"Mpun Bu, sak kersa njenengan mawon", kata saya.
"Sedaya satus enembelas ewu, pareng mboten Mas ?", tanya Sang Ibu.
"Nggih Bu. Matur nuwun sanget. Alhamdulillah", sambung saya.
Beberapa ayam itupun dimasukkan dalam sebuah wadah dari kain bekas tepung terigu yang dijahit ulang.
"Ben dinten saget pajeng Bu?', tanya saya.
"Nggih mboten mesti Mas. Kadang untung. Kadang nggih rugi. Mpun biasa tiyang bebakul niku", jawab suaminya.
"Tapi sak niki pancen sepi sanget Mas". Nanging nggih pripun malih. Kawontenane nggih sedaya kados ngaten", imbuh Sang Ibu.
"Mugi-mugi panjenengan diparingi kesehatan tuwin rezeki ingkang gangsar Bu, Pak", kata saya.
"Aamiin. Matur nuwun Mas"
Setelahnya, suami istri bakul itupun bergegas pergi. Mencari tambahan ayam yang lain. Untuk dijual kembali.
Saya pandangi beberapa lembar rupiah dari ibu bakul itu. Tanpa sadar. Saya menarik nafas panjang. Dan kemudian, mengembuskannya pelan sekali.
Begitu terasa dampak pandemi ini.
Seberapa besar pengaruhnya ? Tak perlu jauh-jauh. Mari kita lihat dan rasakan masing-masing. Anda melihat diri Anda. Sayapun demikian.
Dan tak terasa bibir ini bergerak pelan.
Yaa Rabb, kami bermohon kepadaMu. Semoga Engkau beri kami kekuatan untuk menjalani ujianMu ini dengan sabar dan ihlas.
Aamiin.
Ahad, 12 April 2020.
(*) DS