Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus
1945, perjuangan Bangsa Indonesia belum berakhir. Belanda yang tidak ingin
mengakhiri penjajahannya terus berupaya untuk kembali berkuasa. Segala cara
ditempuh, baik lewat jalur propaganda diplomasi maupun dengan kekuatan militer.
Sumber: detik.com |
Agresi militer I dan Agresi militer II yang menargetkan Ibukota
Indonesia di Yogyakarta menjadi bukti Belanda menghalalkan segala cara. Proses
kepindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta merupakan usulan dari Raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB IX. Sebab selang satu bulan
pasca proklamasi kemerdekaan, pada 29 September 1945 Belanda berusaha merebut
Jakarta dan terus merangsek menguasai Jakarta.
Para pemimpin negara akhirnya hijrah ke Yogyakarta dengan menyusun
sebuah starategi. Mereka menumpang kereta dan sampai di Yogyakarta. Pada 4
Januari 1946, secara resmi Yogyakarta sebagai ibukota negara. Presiden Sukarno
tinggal di Gedung Agung, utara Kraton Yogyakarta.
Markas Kepolisian Ikut Pindah
Karena ibukota berpindah, maka markas Kepolisan Indonesia pun ikut
dipindahkan. Karena belum memiliki markas yang bisa dijadikan komando, serta
dengan pertimbangan strategi perang makan dipilihlah daerah di barat Kabupaten
Sleman. Tepatnya di Dusun Kwayuhan Desa Sendangmulyo Kecamatan Minggir. Masyarakat
antusias menyambut keputusan ini.
Maka para penduduk merelakan rumahnya sebagai markas kepolisian,
sebagai kantor administrasi maupun dapur umum. Hingga kini situs-situs tersebut
masih bisa ditemukan dan telah dibuat sebuah monumen yang dinamai Monumen
Wiranara.
Monumen Wiranara merupakan monumen berbentuk tembok dengan gambar
rilief, berukuran sekitar 3 x 3 meter. Di bagian atas terdapat bentuk kobaran
api sejumlah 17 dengan kelopak obor 8
buah. Serta terdapat tikel dibadan monumen sebanyak 45 buah. Angka-angka tersebut menggambarkan
waktu proklamasi kemerdekaan. Sedangkan relief menggambarkan proses pendidikan
kepolisian yang dilakukan secara sederhana. Dengan duduk lesehan.
Wiranara sendiri berasal dari kata ‘wira’ yang berarti berani dan ‘nara’
yang bermakna orang. Sehingga sebagai simbol orang yang pemberani. Kini monumen
ini bersebelahan dengan SD N Kwayuhan dan terdapat Pendopo yang bisa digunakan
untuk berbagai kegiatan.
Monumen Wiranara merupakan hadiah dari Kepolisian Republik
Indonesia untuk mengenang dan rasa terima kasih atas jasa warga Dusun Kwayuhan
dan sekitarnya. Monumen ini diresmikan oleh Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo
pada 1983 dan masih terawat dengan baik hingga sekarang. Para anggota
Kepolisian yang baru menamatkan pendidikan, biasanya melakukan longmarch dari
Polda DIY ke Monumen Wiranara.
Beberapa rumah pendudukan yang sempat digunakan sebagai markas
antara lain, rumah Kepala Desa, Damanuri sebagai markas komando dilengkapi pos
jaga dan kini dimanfaatkan untuk pos kamling. Rumah Jiwo Suharsono sebagai
kantor administrasi dan rumah Hadi Wiyono dijadikan dapur umum.
Selain sebagai Markas Kepolisian di bawah Komando Jenderal Sukamto,
kondisi yang terus berkembang dan melihat keterbatasan personel yang ada untuk
melawan Belanda timbul inisiatif untuk membuka sekolah Polisi. Saat itu jumlah
anggota polisi yang ada hanya sekitar 300 orang. Maka warga sekitar disilakan
untuk mendaftar menjadi Polisi.
Ujian Polisi dengan Mudah dan Cepat
Karena dengan segala keterbatasan, proses ujian menjadi anggota
Polisi pun dilakukan seadanya. Menurut Joyo Sutimin, pelaku sejarah dan juga
anggota polisi, ujian dilakukan hanya dengan melompati dingklik (kursi kayu). Apabila
berhasil maka diterima. Tidak hanya bagi yang masih bujang, yang sudah
berkeluarga pun dibolehkan ikut.
Sumber: deskgram.net |
Meski begitu tidak banyak yang tertarik. Selain belum tentu jaminan
kesejahteraannya seperti apa. Para anggota polisi ini juga harus siap berkorban
nyawa karena akan perang melawan
Belanda. Bagi mereka yang lulus kemudian dikirim ke Dusun Nanggulan Desa
Sendangagung untuk mengikuti Sekolah Polisi Darurat. Sekolah ini digagas oleh R.
Mohamad Zein Suryopranoto.
Atas jasa dan pengorbanan warga Dusun Nanggulan dan sekitarnya,
Polri berniat membangun monumen penanda di Dusun Nanggulan. Akan tetapi dengan
berbagai pertimbangan dan agar bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat luas maka
dibangunlah Gedung Serbaguna di Komplek Balai Desa Sendangagung dan diberi nama
Gedung Serbaguna R. Djen Moch Suryopranoto. Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo
turut hadir dalam peresmian gedung tersebut. [KM/03]