Di antara lembar awal sejarah republik yang masih dalam perjuangan, nama Haji Muhammad Rasyidi terukir tanpa hiasan emas.
Ia tak memoles hidupnya dengan fasilitas. Kantornya sederhana, kadang hanya berteman lampu redup di malam hari. Gajinya banyak dihabiskan untuk membantu mahasiswa, ulama, atau kawan seperjuangan yang kesulitan.
![]() |
Makam, HM. Rasyidi di Kotagede Yogyakarta |
Lahir di Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915, ia tumbuh dari tanah yang mengajarkan kejujuran lebih berharga dari gemerlap.
Anak seorang pedagang sederhana, Rasyidi belajar bahwa keberkahan tak selalu datang dari kelimpahan, melainkan dari hati yang bersih.
Jalan hidupnya membentang melewati pesantren dan universitas, dari Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Yogyakarta hingga Fakultas Sastra Arab Universitas Kairo. Pengetahuannya luas, namun sikapnya tak pernah menjulang di atas orang lain. Ia tidak membangun jarak; dalam kesahajaan, ia justru mendekat.
Ketika Republik yang baru merdeka berupaya menata kementerian-kementerian, Bung Karno menunjuk Rasyidi menjadi Menteri Agama pertama pada 3 Januari 1946.
Jabatan itu datang di tengah suasana genting: negara masih rapuh, perang kemerdekaan belum reda. Namun bagi Rasyidi, jabatan bukanlah undangan untuk kemewahan.
Ia tak memoles hidupnya dengan fasilitas. Kantornya sederhana, kadang hanya berteman lampu redup di malam hari. Gajinya banyak dihabiskan untuk membantu mahasiswa, ulama, atau kawan seperjuangan yang kesulitan.
Baca Juga : Sepotong Roti untuk Panglima
Di rumahnya, kursi-kursi masih terbuat dari kayu biasa, dan lantai tak selalu beralas karpet tebal. Tamu-tamu yang datang disuguhi teh hangat atau kopi pahit, bukan hidangan berlapis perak.
Bahkan suatu ketika ban mobilnya kempes dan harus diisi dengan rerumputan kering.
Ia tidak merasa berkewajiban untuk menunjukkan kemegahan karena percaya, kemuliaan pejabat ada pada pengabdian, bukan perabotan.
Ia tidak merasa berkewajiban untuk menunjukkan kemegahan karena percaya, kemuliaan pejabat ada pada pengabdian, bukan perabotan.
Kesederhanaannya bukan tanpa ujian. Dalam rapat-rapat kabinet, ia sering berbeda pandangan, terutama saat membela prinsip agama yang ia yakini harus hidup selaras dengan dasar negara.
Namun ia tak pernah berteriak untuk didengar; kata-katanya tajam tapi teduh, seperti embun jatuh di ujung daun, menetes tanpa melukai. [r]