Awal abad ke-20, saat kedaulatan Nusantara masih samar. Laut-lautnya membentang biru, namun secara hukum, wilayah air itu belum sepenuhnya menjadi pelukan Ibu Pertiwi. Ombak di Selat Sunda, Samudra Hindia, Laut Jawa, dan Samudra Pasifik seolah masih berbisik, menanti seorang putra yang akan menyatukan denyutnya dalam satu nafas: Indonesia.
![]() |
Sumber: FB Persyarikatan Muhammadiyah |
Seorang anak bernama Ir. Djuanda Kartawidjaja, lahir di Tasikmalaya pada 14 Januari 1911, bukanlah prajurit bersenjata api, melainkan pejuang yang membawa pena dan pikiran tajam. Matanya teduh, suaranya tenang, namun di balik itu tersimpan tekad baja. Ia menyadari bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya di medan perang, tetapi juga di meja perundingan dan lembar kebijakan. Djuanda Kartawidjaja tumbuh dengan mata penuh rasa ingin tahu. Ia belajar membaca bukan hanya huruf-huruf di buku, tetapi juga hikmah yang terselip dalam tutur orang tua dan guru.
Baca Juga : Kisah Jenderal Sudirman, Sepotong Roti untuk Panglima
Sejak muda, Djuanda telah ditempa dalam tradisi pendidikan yang memadukan keilmuan modern dengan nilai-nilai Islam. Ia pernah menempuh pendidikan di MULO dan AMS, lalu melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Namun, yang membentuk karakter kepemimpinannya tak hanya bangku kuliah, melainkan pula keterlibatannya dalam gerakan Muhammadiyah. Sebagai kader organisasi ini, Djuanda mempelajari arti kepemimpinan yang melayani, bekerja dengan disiplin, dan menempatkan kepentingan umat serta bangsa di atas kepentingan pribadi.
Langkah kemudian membawanya mengenal Muhammadiyah, sebuah gerakan Islam pembaruan yang menawarkan jalan lurus antara iman dan amal. Dalam lingkungan ini, Djuanda menemukan sesuatu yang kelak menjadi kompas hidupnya: kerja adalah ibadah, amanah adalah kemuliaan, dan kemajuan adalah kewajiban.
Di forum-forum Muhammadiyah, ia duduk di antara para kader muda, mendengarkan dengan saksama wejangan para tokoh yang menekankan pentingnya pendidikan, kemandirian, dan disiplin. Dari pengajian di surau sederhana hingga rapat-rapat yang membahas pembangunan sekolah dan rumah sakit, Djuanda belajar bahwa membangun bangsa dimulai dari membangun manusia.
Di sinilah ia ditempa untuk tidak silau oleh jabatan, namun teguh memegang prinsip. Muhammadiyah mengajarinya bahwa pemimpin adalah pelayan, dan bahwa kemajuan bangsa hanya mungkin tercapai jika ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan akhlak mulia. Nilai-nilai itu meresap ke dalam darahnya, membentuk pribadi yang kelak dikenal sederhana, bersih, dan fokus pada kerja nyata.
Ketika kemudian ia terjun ke panggung politik dan pemerintahan, semangat itu tak pernah luntur. Sebagai Perdana Menteri, Djuanda membawa etos kerja Muhammadiyah: mengutamakan musyawarah, bekerja terukur, dan mengedepankan kemaslahatan. Ia memahami bahwa memimpin negara kepulauan bukan sekadar mengatur daratan, tetapi juga menjaga laut sebagai perekat persatuan.
Sebagai Perdana Menteri ke-10 Republik Indonesia, Djuanda memanggul tanggung jawab di tengah arus zaman yang bergolak. Negeri baru ini belum sepenuhnya kokoh, wilayahnya terpecah oleh aturan warisan kolonial yang menganggap laut di antara pulau-pulau sebagai perairan bebas. Bagi Djuanda, itu seperti melihat tubuh bangsa terpotong-potong oleh garis tak kasat mata.
Puncaknya adalah 13 Desember 1957, ketika ia mengumandangkan Deklarasi Djuanda—pernyataan yang mengubah cara dunia memandang peta Indonesia. Bagi Djuanda, itu bukan sekadar kebijakan maritim, tetapi perwujudan dari ajaran yang ia serap sejak muda: mempersatukan, melindungi, dan memajukan seluruh wilayah bangsa, dari pelosok darat hingga buih ombak di perbatasan.
Deklarasi itu tidak lahir dari sekadar keberanian, tetapi dari pemahaman mendalam akan sejarah dan geografi bangsa. Djuanda melihat laut sebagai halaman depan rumah, bukan sekadar perbatasan. Ia tahu, jika bangsa ini membiarkan lautnya terbuka tanpa batas, maka perompak, kekuatan asing, dan kepentingan luar akan bebas menembus jantung Nusantara.
Tentu, dunia tidak serta-merta mengangguk. Butuh waktu puluhan tahun, diplomasi panjang, dan perlawanan halus di forum internasional, hingga akhirnya pada 1982, prinsip Deklarasi Djuanda diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Walau Djuanda tak sempat menyaksikan pengakuan itu—ia wafat pada 7 November 1963—namanya telah terpatri sebagai arsitek kedaulatan maritim Indonesia.
Ia meninggalkan warisan bukan hanya dalam bentuk kedaulatan laut, tetapi juga teladan kepemimpinan yang bersumber dari nilai-nilai dakwah dan pembaruan yang dibawanya sejak menjadi kader Muhammadiyah.
Kini, setiap kali ombak menghempas pantai di ujung negeri, seakan terdengar gema pesan yang dulu ia pegang: “Laut bukan pemisah, tapi penghubung. Dan pemimpin sejati adalah ia yang mengikat hati bangsanya sebagaimana laut mengikat pulau-pulau.” Itulah kisah, Ir. Juanda, Sang Jembatan Pemersatu Laut Nusantara. [r]