Wednesday, August 5, 2020
Tak perlu jauh-jauh untuk mencari tempat terpencil. Nggak perlu waktu lama. Saya hanya butuh 10 menit saja. Naik motor dari rumah saya. Di Jetisdepok.
 |
| Penulis artikel Basa Jawa |
Ceritanya, saya harus menjemput kulit kambing. Donasi dari jamaah sebuah masjid. Untuk masyarakat kurang mampu. Lewat LazisMu Cabang Minggir.
Ini adalah kali kedua, saya menjemput donasi tersebut. Di Masjid An Nuur Kisik, Sendangagung.
Pengambilan Pertama
Jumat, 31 Juli 2020. Sebenarnya saya agak ragu untuk mengambil. Karena waktu itu waktu sudah malam. Sudah lebih dari jam 20.00.
Kemudian, saya kontak Mas Galih LazisMu. Gimana sebaiknya. Akhirnya kami sepakat. Kulit segera saja diambil. Toh hari belum terlalu malam.
Sebelumnya, saya juga telah kontak mas Defri. Ia - lah yang menawarkan donasi kulit kambing itu kepada LazisMu. Mas Defri juga anggota anggota group Al Maun. Pun anggota group pasar sore Ramadhan.
Mas Defri memberi ancer-ancer. Pathokannya adalah masjid An Nuur. Yang katanya letaknya di pinggir jalan. Nanti ketemu dengan takmirnya. Beliau yang nanti akan menunjukkan kulit kambingnya.
Saya juga kontak Pak Darum Anshori. Yang juga akan mendonasikan kulit kambing dari jamaah Masjid Nurul Asfar Daratan 2. Rencananya, setelah dari Kisik, saya langsung akan meluncur ke Daratan.
Malam itu, saya segera menyiapkan perlengkapan. Saya sengaja tidak membawa Viar. "Cukup pakai motor sajalah", pikir saya. Dan sebuah krombongpun, segera terpasang di belakang jok motor saya.
Dan saya segera otw.
Melewati pertigaan Puskesmas. Saya segera belok ke Utara. Tak lama kemudian telah sampai pada sebuah pertigaan. Saya belok. Ambil kiri. Dan terus menurun menuju ke arah Barat. Berliku di sepanjang rimbunnya pokok tebu. Mentok sampai pertigaan. Ada tugu di tengahnya. Saya belok kiri. Ke arah Selatan.
Saya memperlambat laju motor. Barangkali saja, bisa bertanya kepada siapapun yang ditemui.
Tapi lha kok ndilalah gak ada seorangpun yang kemliwer. Semua rumah sudah tertutup. Tidak ada satu rumah pun yang terbuka pintunya. Pun tak ada orang yang jagongan di teras atau dimana pun.
Saya cuma mbatin : "Iki dalane kok sepine pol. Koyok nang tengah alas ae".
Setelah melewati tugu tadi. Saya terus terang agak ragu. Kemana arah motor saya berjalan. Ke Barat kah ? Atau ke Selatan ?
Saya mbatin lagi : "Jangan-jangan ini jalan tembus Kali Progo ini. Lha endi iki masjide".
Setelah agak lama berjalan. Di kejauhan nampak seperti ada sekelebatan orang. Saya dekati. Ada seorang berkain sarung. Berpeci bundar warna putih. Berperawakan kecil. Dan ternyata benar. Orang beneran.
Kepadanya, saya menanyakan keberadaan Masjid An Nuur. Dan orang tersebut mengiyakan. Bahwa Masjid An Nuur memang di situ. Hanya berjarak 10 an meter dari tempat kami berhenti. Ternyata orang tersebut adalah takmir masjidnya. Beliau sengaja menunggu kedatangan saya.
Alhamdulillah. Saya ditunjukkan kulit kambing yang akan disumbangkan. 9 lembar kulit kambing tersebut sudah dimasukkan dalam sebuah kantong.
Saya sengaja tidak ingin berlama-lama. Dan segera saja kantong tersebut saya masukkan ke krombong.
Lalu, otw ke Daratan.
Pengambilan Kedua
Senin, 3 Agustus 2020. Dari pengambilan yang pertama, saya sudah ada gambaran.
Oleh sebab itu, pada pengambilan yang kedua ini, saya sengaja setting waktu. Agar bisa ikut sholat isya di masjid An Nuur itu. Dan selebihnya, saya akan berkenalan dengan takmirnya.
Tepat jam 18.40, saya sampai di depan masjid An Nuur. Pintunya masih terbuka. Ruangan di dalam masjid masih terang menyala. Pertanda bahwa masjid ini masih aktif.
Nampak seseorang yang klekaran di dalam masjid. Saya uluk salam. Seseorang yang klekaran tadi bangkit. Membalas salam. Dan menyambut saya. Mempersilakan masuk.
Alhamdulillah. Saya masih ingat. Beliaulah pak takmir itu. Kami saling memperkenalkan diri.
Beliau bernama Sanijo. Nama yang bersahaja. Njawani. Dan mudah diingat. Dan kamipun ngobrol.
Obrolan kami terhenti. Karena di kejauhan terdengar kumandang adzan. Sayapun menawarkan menghentikan percakapan.
Pak Sanijo bangkit berdiri. Menghampiri mikrofon. Dan adzanpun berkumandang.
Orang-orang mulai berdatangan. Saya sempat menghitung ada 5 laki-laki dan 3 perempuan.
Selepas sholat sunnah qabliyah isya, pak Sanijopun bangkit berdiri. Melantunkan iqomah. Mempersilakan saya untuk menjadi imam. Saya menolak halus. Akhirnya, beliau sendiri pulalah yang menjadi imam.
Seperti di banyak musholla dan masjid yang lain. Ketua takmir sebagai muadzin. Merangkap imam.
Selepas sholat ba'diyah Isyak, sayapun berinisiatif untuk melanjutkan percakapan.
Perbincangan yang cair mengalir. Begitu mengetahui bahwa rumah saya di Lor Daratan, beliau bilang. Bahwa sering ke Kiyudan.
Saya langsung tertarik menanyakan. Ada kepentingan apa sering ke Kiyudan. Beliau sering ke rumah pak Suhindriyo. Pak Suhindriyo ini adalah redakturnya majalah berbahasa Jawa : Jaka Lodhang.
Tahulah saya kemudian. Ternyata pak Sanijo ini adalah seorang penulis sekaligus peliput. Tulisannya sering dimuat dalam majalah Jaka Lodhang. Baik dalam bentuk artikel maupun dalam bentuk liputan kegiatan.
Ternyata beliau juga aktif mengikuti kegiatan kemuhammadiyahan.
Salah satu kegiatan yang pernah diliput dan dimuat dalam majalah tersebut adalah kegiatan Pasar Sore Ramadhan dan Peresmian Ngloji oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Sebelumnya, beliau juga pernah aktif menulis di Suara Aisyiyah, Suara Muhammadiyah dan Penyebar Semangat. Nama yang terakhir ini adalah juga majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya.
Saya semakin tertarik mengorek ilmunya. Ternyata beliau dulu pernah mengenyam bangku kuliah. Masuk Sastra Indonesia di UAD. Angkatan 1985. Kakak kelasnya pak Wagiyo Jogorejo.
Namun sayang, beliau tidak bisa menyelesaikannya. Terhenti justru di saat-saat akhir perkuliahan. Oleh karena sesuatu sebab.
Obrolan kami semakin mengalir. Namun sayang, waktu pula yang membatasi. Oleh karena, kulit kambing pun harus segera didrop di pengepul.
Sayapun kemudian undur diri. Dan berjanji kepada pak Sanijo. Untuk lain waktu berkunjung kembali.
Ternyata, di pinggir Kali Progo saya menemukan seorang guru.
(*)
Jetisdepok, 4 Agt. 2020.