Oleh : Eko Triyanto
Aja
Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka. Jangan
merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar
tidak celaka. Falsafah Jawa tersebut jika direnungkan memiliki makna mendalam.
Kuminter, bisa mewakili kapasitas akademik, sedangkan cidra merepresentasikan
karakter negatif. Untuk menjadi insan yang bermanfaat, seseorang mesti memilki
kemampuan akademik memadai dan memanfaatkannya secara bijak, sekaligus
mempunyai karakter yang baik.
![]() |
Minitrip siswa ke Polsek Minggir |
Selama ini pendidikan
dipercaya menjadi jalan untuk mencapai kemakmuran, memupus rantai kemiskinan
sekaligus sebagai sebuah rekayasa sosial yang legal. Hanya saja untuk
mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Perlu membangun sebuah
interkonektivitas berbagai elemen. Sebab, keberhasilan pendidikan tidak hanya
ditentukan pada saat peserta didik di sekolah, melainkan juga di lingkungan di
mana mereka tumbuh dan berkembang.
Interkonektivitas bisa
dimaknai sebagai kemampuan untuk terhubung antar elemen agar mampu berfungsi selaras
dengan tujuan. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang kompleks diperlukan
kerjasama yang efektif antara lembaga pendidikan umum dengan lembaga pendidikan
bercorak agama, lembaga pendidikan formal dengan non-formal, dan pendidikan
berbasis ruang-kelas dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sehingga interkonektivitas
pendidikan diharapkan mampu membekali peserta didik dengan kemampuan akademik,
keterampilan sekaligus nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Sehingga
tanggungjawab pendidikan tidak hanya bertumpu kepada Guru (Opini KR,
30/12/2019)
Untuk membangun interkonektivitas
pendidikan bisa diwujudkan dengan beberapa tahapan.
Pertama, membangun
cara pandang yang selaras antara insan pendidikan dengan masyarakat. Pendidikan
yang membuka peluang masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Cendekiawan
Azyumardi Azra menyebut pendidikan dengan melibatkan partisipasi masyarakat
telah lama dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia. “Hampir seluruh lembaga pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari
rangkang, dayah, meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa),
bustanul atfal, diniyah dan sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dan
dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Lembaga-lembaga ini hanya sekedar contoh
bagaimana konsep pendidikan berbasis masyarakat diterapkan oleh masyarakat
Indonesia dalam lintasan sejarah.” (Azra; 1999)
Kini konsep serupa tampaknya
perlu dihidupkan kembali, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi ‘hakim’ atas hasil
dari pendidikan, melainkan juga berperan aktif dalam upaya mencerdaskan bangsa.
Cara yang bisa diterapkan di antaranya dengan mengembangkan pusat-pusat
pembelajaran di masyarakat, perpustakaan masyarakat, atau ruang publik yang
mendukung pembelajaran.
Kedua,
membangun sinergi antara lembaga pendidikan dengan instansi pemerintah
non-pendidikan karena tidak sedikit di antara mereka juga memiliki tugas pokok
dan fungsi melakukan edukasi kepada masyarakat. Untuk belajar tentang kesehatan
dan kebersihan lingkungan lembaga pendidikan bisa bersinergi dengan Puskesmas,
BKKBN, BNN, Dinas Lingkungan Hidup dan lainnnya. Sehingga peserta didik
memiliki cara pandang dan wawasan yang lebih luas serta mengetahui aplikasi
pengetahuan secara langsung.
Ketiga, bersinergi
dengan dunia industry. Lulusan dunia pendidikan, umumnya di tingkat atas (SMA/MA/SMK)
kerap mengalami kegagapan ketika harus kembali ke masyarakat. Masih canggung
memasuki dunia kerja, dan terbatas akses untuk ke perguruan tinggi.
Interkonektivitas perlu dibangun antara sekolah dengan dunia industri atau
lembaga penyiapan tenaga kerja semisal Balai Latihan Kerja (BLK), Dinas Tenaga
Kerja, maupun industri atau komunitas kreatif lainnya.
Pengembangan sekolah
berwawasan wirausaha tidak kalah pentingnya. Terdapat sejumlah pengusaha yang
kini menaruh minat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini bisa menjadi kesempatan
berharga bagi peserta didik mendapatkan akses belajar kepada para wirausahawan
yang telah berhasil. Akan terjadi semacam simbiosis mutualisme, peserta didik
dan sekolah memperoleh peluang belajar dan para wirausahawan dapat mewujudkan
misi pemberdayaan.
Tumbuhnya desa-desa wisata
bisa dimanfaatkan dalam upaya pengenalan lingkungan serta mengasah kreatifitas
bagi peserta didik. Potensi alam Yogyakarta masih terbuka untuk dikembangkan
dalam bidang pariwisata. Baik wisata budaya, alam, pendidikan, kuliner dan
sebagainya. Dengan konektivitas diharapkan pendidikan bisa lekat dengan
lingkungan sekitar sehingga peserta didik bisa memiliki gambaran potensi apa di
lingkungan mereka yang bisa dikembangkan.
Keempat,
membangun karakter. Kreativitas dan inovasi dari peserta didik perlu untuk
terus dikembangkan. Meski demikian kecerdasan secara akademis tidak boleh
melalaikan pembangunan karakter sehingga akan dihasilkan sumber daya manusia
(SDM) yang tidak hanya pintar olah pikir melainkan juga berakhlak terpuji.
Sinergi antara lembaga pendidikan, dengan lembaga/instansi keagamaan diharapkan
bisa mewujudkan hal tersebut.
Teknologi
Sebagai Alat
Daerah Istimewa Yogyakarta sangat
layak menjadi smart region, dari segi sarana dan prasarana relatif lebih mudah
untuk dipenuhi. Selain itu tersedia cukup sumber daya manusia (SDM) yang
memilki kompetensi di bidang teknologi informasi. Sudah saatnya dunia
pendidikan di Yogyakarta memberi perhatian yang penting soal pemanfataan
teknologi ini. Perkembangan teknologi dan segala pengaruhnya tidak mungkin
untuk dibendung.
Solusinya, menjadikan teknologi agar lebih berdampak positif
ketimbang negatif.
Kemajuan teknologi juga bisa
dimanfaatkan dengan membangun jaringan antar sekolah, untuk studi silang
terkait proses pembelajaran di masing-masing sekolah. Sehingga program dan
kegiatan di sekolah yang dianggap favorit bisa diduplikasi di sekolah lain.
Prinsip kesetaraan dalam akses pendidikan akan bisa diwujudkan dengan membangun
jaringan komunikasi dan informasi antar lembaga pendidikan dan juga masyarakat.
Interkonektivitas
pendidikan, bisa diwujudkan dalam berbagai rupa kebijakan dan kegiatan. Hal ini
bisa menjadi solusi membagi beban dan tugas pendidikan. Sekaligus memaksimalkan
potensi yang ada di masing-masing stakeholder agar peserta didik memiliki
kesempatan terus belajar ketika di sekolah, di keluarga maupun masyarakat. Karena
sejatinya pendidikan bisa diperoleh di mana saja, tidak hanya terbatas pada
ruang-ruang kelas.
*)
Mahasiswa Pasca Sarjana UMY, Peneliti Alfajr Institute Indonesia
Pembaca bisa mengirimkan tulisan berupa Opini, Berita Kegiatan, atau Tulisan Inspiratif lainnya. Silakan kirim ke redaksi Kabare Minggir melalui email kabareminggir@gmail.com