-->

Mencari Orang yang Paling Pancasila di Indonesia


Rerasan – Dalam pidato terakhirnya, tepat di hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1966. Dari sekian isi pidato Bung Karno, satu akronim yang terkenal hingga sekarang ialah, ‘Jas Merah’. Jika kita baca dalam beberapa dokumen, pidato Bung Karno itu aslinya ialah ‘Jali MerahJangan Sekali-kali melupakan sejarah. Kemudian dipelsetkan oleh Mr. Sastro Amijoyo menjadi Jas Merah, karena saat itu Sastro Amijoyo adalah pemimpin PNI dengan Jas berwarna merah.

Haji Agus Salim

Saat ini, Pancasila kembali menjadi perbincangan hangat, karena sebagian golongan merasa paling Pancasila, sementara itu golongan yang lain dianggap tidak Pancasila. Meski demikian perilaku koruptif terus saja terjadi di negeri ini, seperti kejadian operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK beberapa hari terakhir yang terjadi secara berurutan.

Mulai kejidian OTT Ketua Partai di Jawa Timur, disusul Direktur BUMN produsen baja, hingga penangkapan anggota DPR dalam suap distribusi pupuk. Bahkan dalam kasus anggota DPR tersebut disita uang lebih dari 8 milyar dan ratusan ribu amplop yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar menjelang Pemilu. Lalu, jika demikian, siapakah orang yang paling Pancasila di Indonesia?

Kisah Perumus Pancasila yang Hidup Melarat Hingga Akhir Hayat

Pada November 1954, mantan menteri luar negeri Indonesia meninggal. Ia bukan hanya seorang menteri di era revolusi, melainkan juga anggota dewan volksradd, diplomat sekaligu tokoh partai terkenal. Ia adalah Haji Agus Salim, satu di antara sembilan orang yang turut merumuskan Pancasila.

Meninggalnya Agus Salim tentu satu kehilangan besar bagi Indonesia. Tetapi di balik itu, tidak banyak orang tahu bahwa rumah yang ditinggali Haji Agus Salim berstatus sewa. Ya, sampai akhir hayat, Agus Salim berstatus sebagai pengontrak rumah!

Rumah itu baru terbeli, setelah beliau wafat dan putra-putrinya patungan untuk membeli rumah yang kini berlokasi di Jalan Agus Salim No 72 Jakarta. Selama hidupnya, Haji Agus Salim dikenal berpindah-pindah rumah sebagai penyewa.

Potret kesederhanaan lainnya, ketika Haji Agus Salim dan istrinya,  Zainatun Nahar tinggal di sebuah gang bernama Gang Listrik. Uniknya, mereka justru tinggal tanpa aliran listrik. Satu di antara muridnya, yang juga diplomat, Mohammad Roem menceritakan kondisi rumah Agus Salim. Ruang makan, dapur, ruang tamu, dan kasur gulung menyatu dalam satu ruangan. Tentang makanan, nasi kecap menjadi menu andalan keluarga ini.

‘Kelemahan’ Haji Agus Salim

Apakah Agus Salim tidak punya kemampuan hingga semelarat itu? Secara akademis, Agus Salim memiliki catatan cukup mentereng. Ia adalah lulusan terbaik di Hoogere Burgerschool (HBS) se-Indonesia. Sejak muda, menguasai setidaknya tujuh bahasa: Arab, Belanda, Jepang, Jerman, Inggris, Turki, dan Perancis.  

Dari segi jabatan, pekerjaan Agus Salim sangat layak untuk menjadi sumber kekayaan. Lalu mengapa ia hidup melarat? Tampaknya, inilah ‘kelemahan’ Agus Salim, hingga Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda saat perjanjian Linggarjati, mengungkapkan tentang Agus Salim : “Ia hanya mempunyai satu kelemahan, selama hidupnya melarat.”

Sangat ironis memang, ketika kini para tokoh bangsa bersuara menjadi yang paling Pancasila, tetapi mereka hidup bergelimang harta, bahkan berani berperilaku koruptif di tengah kondisi rakyat yang kesusahan. Mereka lupa dengan esensi Pancasila yang semestinya. Sedangkan para pendiri bangsa, mereka berjuang tanpa pamrih dan rela hidup dalam kesederhanaan.

Hingga seorang Ketua Komite Nasional Indoseia Pusat (KNIP), atau DPR, Kasman Singodimedjo mengetahui keadaan Haji Agus Salim, yang merupakan gurunya, dengan pelan berbisik, “Leiden is lijden”. Memimpin itu menderita! [KM/03 || dari berbagai sumber]

LihatTutupKomentar