Sejak kecil kita seperti dihipnotis
dengan kata ‘agraris’. Indonesia adalah negeri agraris, artinya sebagian besar
rakyat indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Hanya saja guru-guru kita
mungkin hanya menyampaikan apa yang tertera di teks buku ajarnya. Di lapangan
kita akan menemukan bahwa sebagian mereka ternyata bukan petani, tetapi buruh
tani. Mereka tak memiliki lahan, melainkan hanya menggarap lahan orang lain.
seorang petani yang pulang dari sawah |
Sekarang di Kabupaten Sleman yang konon
menjadi lumbung padi untuk DIY, menetapkan beberapa kecamatan sebagai area
potensial untuk pertanian. Satu di antaranya adalah Minggir. Beberapa papan
pengumuman tentang pentingnya menjaga area pertanian demi anak cucu, kerap
dipasang, kerap pula hilang. Tapi penetapan kawasan pertanian tanpa memiliki
perencanaan jangka panjang yang memadai hanyalah serupa memenjarakan kemajuan
dengan harapan semu.
Adakah satu daerah maju dengan
mengandalkan pertanian? Ini pertanyaan yang wajib dijawab sebelum membuat
peraturan. Jika berkaca pada lahan garapan masyarakat yang terbatas dan pola
tanam padi – pantun – padi alias menanam padi terus menerus, rasa-rasanya
pertanian tak bisa diandalkan. Apalagi ketersediaan air irigasi yang tidak
selalu memadai, pupuk yang mahal dan sulit dicari serta persoalan jual beli
pasca panen yang pelik. Sebagian petani bahkan harus rela tanaman padinya
dibeli secara dicicil oleh tengkulak, sebab pemerintah tak pernah cawe-cawe
dalam pengolahan pasca panen.
Tak bisa dipungkiri, lambat laun, dunia
pertanian semakin ditinggalkan generasi Minggir saat ini, mencari tenaga kerja
yang mau ke sawah tak semudah di masa lalu. Apalagi ongkosnya juga terus naik. Ongkos
traktor, biaya tandur, matun dan panen juga terus memuncak. Sedangkan hasil
panen cenderung tetap. Soal harga jual, petani tak punya banyak pilihan sebab
semuanya dikuasai tengkulak.
Sekarang, butuh peran serius dari Bapak
Camat, Bapak Kepala Desa, Bapak Kepala Dukuh, Penyuluh Pertanian dan KUD yang
sehat dan transparan agar petani tak terus dijadikan komoditas demi
popularitas. Mengklaim diri sebagai sentra pertanian tanpa pernah mempedulikan
nasib petani hanyalah serupa menitipkan kesengsaraan kepada rakyat jelata. [KM/3]