Oleh: Dwi Sumartono
(Catatan kecil. Bagian kedua.)
--
Menjelang siang itu, saya sudah sampai Ngloji. Sekarung kulit sapi dari Masjid Sunten, baru saja saya turunkan. Saya bergegas untuk sholat Dzuhur. Segera, saya ambil air wudhu.
Belum lagi masuk ke pintu MBI, HP berbunyi. Ada panggilan dari Mas Eko Triyanto.
"Sudah mulai keliling ambil kulit Pak ?".
"Sudah Mas. Barusan nurunkan kulit yang dari Masjid Sunten", kata saya.
"Ini ada 2 kulit sapi siap ambil Pak. Di Musholla Al Huda Tegalsari", kata Mas Eko.
"Dimana itu Mas ?", saya memperjelas.
"Jomboran mentok. Belok kanan", katanya lagi.
"Baik Mas. Matur nuwun", kata saya.
Tetapi kemudian saya bertanya dalam hati :
'Rasanya, saya kok belum pernah dengar nama Tegalsari. Jangan-jangan Mas Eko salah sebut. Atau, jangan-jangan Tegalsari itu nama mushollanya. Tapi kata Mas Eko, nama mushollanya : Al Huda. Ahh.. Sudahlah nanti saja. Dzuhuran sik".
Selepas Sholat Dzuhur, saya mencoba buka HP. Membaca WAG Al Ma'un. Rupanya cukup banyak kulit yang sudah siap diambil. Salah satunya WA dari Mas Eko terkait kulit di Musholla Al Huda Tegalsari itu.
"Berarti Tegalsari itu ada", batin saya.
Bismillah. Sesuai pesan Mas Eko, saya segera meluncur ke Selatan. Menuju arah Jomboran.
Nanggulan sudah terlewati. Gapura Jomboran nampak di depan sana. Saya memperlambat kecepatan. Saya menepi. Saya harus memastikan. Saya berhenti. Saya harus bertanya.
Tapi, beberapa saat, tak ada seorangpun yang bisa ditanyai. Suasana sepi. Matahari tepat di atas kepala. Panas terik menyengat.
Saya ragu.
"Apakah saya harus buka google map ?", batin saya.
"Ahh... Ndak usahlah",
Terus terang, saya punya pengalaman kurang menyenangkan ketika pakai google map. Terlebih bila lokasi yang dicari adalah di pelosok desa.
Ketika itu, saya ikuti arah sesuai petunjuk google map itu. Tapi rasanya cuma mutar muter gak karuan. Saya terpaksa berhenti. Ternyata jalan itu putus, pas di pertigaan. Jalan cabang di sebelahnya adalah jalan menuju kuburan.
Pengalaman yang lain, ketika saya berboncengan dengan Mas Ashadi ke Magelang. Kami ada undangan kaitan Jatam. Menghadiri panen perdana jagung di sebuah pelosok di Tegalrejo, Kabupaten Magelang.
Kami ikuti arahan google map. Tapi cuma putar puter. Diarahkan melewati jalan makadam. Jalannya turun. Licin berbatu. Rupanya kami masuk di areal kandang sapi
Kembali ke Tegalsari.
Oleh karena tidak ada orang, maka saya putuskan masuk lewat gapura Jomboran. Selepas masuk gapura, saya belok kanan. Pas kebetulan ada seorang laki-laki di dekat situ.
"Mas nyuwun sewu. Musholla Al Huda Tegalsari niku siring pundi nggih ?", tanya saya.
"Ohhh... Sampun cedhak Pak. Lha niku, cungkupe musholla ketingal saking mriki", katanya, sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Barat.
Saya jadi teringat sebuah anekdot. Pengertian "cedhak" itu sangat subyektif. "Cedhak" menurut orang desa itu, bisa jadi berarti : "jauuuuuh sekali".
Saya mencoba mencermati ke arah yang ditunjukkan oleh Mas e. Memang nampak ujung cungkup musholla di antara lebatnya pepohonan. Nun jauh di ujung sana.
Saya segera melanjutkan perjalanan. Viar saya arahkan ke arah Barat melewati jalan beraspal yang sudah tidak lagi baru. Berlubang lubang di sana sini.
Semakin masuk ke Barat, saya berasa seperti berada di "dunia lain".
Saya terus ikuti jalan aspal itu. Jalan aspal itu berhenti di sebuah tikungan. Jalannya berganti dengan jalan cor - coran semen. Jalan itu menyempit. Rasanya hanya cukup untuk 1 mobil saja. Bila ada mobil yang papasan dari arah berlawanan, pasti salah satu harus mengalah.
Selain sempit, jalan cor - coran itu juga berbelok belok. Di sepanjang kanan kiri jalan, banyak tumbuh pohon jati yang tinggi menjulang.
Sampai dengan beberapa lama berjalan, saya masih belum menemukan keberadaan musholla Al Huda itu.
Pada sebuah tikungan, nampak ada 3 orang anak muda. Mereka sedang duduk di teras rumah. Sambil asyik memainkan HP. Ketiga anak muda itu sama. Landa kampung. Rambut merah, kulitnya coklat.
Saya berhenti. Lalu turun menghampiri dan menanyai mereka :
"Mas, Tegalsari niku pundi nggih ?".
"Ngriki niki Tegalsari", kata mereka bersamaan.
"Musholla Al Huda sebelah pundi nggih ?", tanya saya.
"Tasih ngilen Pak", kata salah satu dari mereka.
Sayapun melaju pelan. Jalan cor - coran itu nampak semakin menyempit dan berbelok-belok. Tak berapa lama, sayapun sampai pada sebuah pertigaan. Rupanya di pertigaan itulah ujung dari jalan cor coran itu.
Pertigaan itu merupakan jalan simpang tiga. Satu cabang ke kanan dan satu cabang ke kiri.
Yang ke kanan menuju arah Utara. Sayapun tidak tahu, kalau terus ke Utara akan tembus sampai kemana.
Sedangkan yang ke kiri menuju arah Barat Selatan. Jalannya berupa sebuah tikungan menurun yang cukup tajam. Sayapun tidak tahu, kalau terus lurus mengikuti jalan itu akan tembus sampai kemana.
Rupanya, pas di pertigaan itulah berdiri Musholla Al Huda Tegalsari.
Ketika saya sampai di musholla itu, nampak banyak sekali orang berkerumun. Rupanya mereka antri menunggu panggilan pembagian daging hewan qurban.
Sayapun menyapu pandang ke kerumunan orang itu. Mencari tahu. Barangkali ada seseorang yang saya kenali. Sampai beberapa saat, saya tidak menemukan.
Akhirnya, jurus terakhirpun saya terapkan. Saya membuka helm dan menggantinya dengan topi andalan : "topi lazisMu". Kemudian saya mendekati salah seorang dari mereka.
"Nyuwun sewu Mas. Kula saking LazisMu Ngloji. Kula angsal pesan saking Mas Eko Triyanto. Kapurih mendhet kulit hewan qurban teng Musholla Al Huda Tegalsari mriki", kata saya.
"O njih Pak. Siap. Wau nggih sampun menghubungi Mas Eko ngaten. Berarti njenengan nggih petugase saking Ngloji ?", katanya.
"Nggih Mas", kata saya.
"Mangga Pak, kulite kula angkate", sambungnya.
Saya tidak menyia - nyiakan kesempatan.
Ketika anak muda tadi bersama temannya itu mengangkat kulit dan memasukkan ke bak Viar, saya langsung ambil HP. Mengambil gambar musholla itu dari berbagai sudut.
Bersyukur saya.
Rasa capek siang itu sungguh terobati. Saya mendapat "sesuatu" yang mungkin hanya sepele. Sambutan "kecil" mereka itu, sungguh bagi saya berkesan dalam.
Dalam hati saya berjanji, kapan - kapan, saya akan berkunjung ke musholla itu.
Insha Allah.
Sampai jumpa kembali nanti di Tegalsari.
(*)
JDepok, 12 Juli 2022.