-->

Mengapa Banyak Orang Mengaku Pancasila Hanya di Bibir Saja

Rerasan - Sudah bukan rahasia lagi, sebagian tokoh yang mengaku sebagai Pancasilais terjerat kasus korupsi dan perilaku tidak terpuji lainnya. Padahal mereka selalu di depan ketika merasa Pancasila terancam. Ancaman yang entah dari mana datangnya, kadang mereka pun tidak paham.

gambar garuda pancasila resmi
indonesia.go.id

Tantangan terbesar Pancasila sebetulnya adalah inkonsistensi dari para pendukungnya. Ketika kepentingan partai, golongan, keluarga dan pribadi mereka utamakan di atas kepentingan bangsa, sejatinya mereka telah meruntuhkan makna sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Ketika perilaku korup, mengemplang keuangan Negara dan mengabaikan kepentingan publik, menolong tapi dengan pamrih, dan semacamnya sesungguhnya mereka telah menghina nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dan sebagainya.

Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama (resultante) para pendiri bangsa, sehingga generasi kini harus menghormati dan menghargai. Dulu nilai-nilai Pancasila coba didoktrinkan melalui penataran P4, baik bagi para siswa maupun para pegawai. Entah seberap jauh hasilnya, namun paling tidak para peserta mengenal atau bisa menghafal sebagian maksud dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Lalu mengapa banyak orang mengaku mendukung Pancasila tetapi tidak dalam perilakunya?

Pertama, sangat mungkin mereka belum mampu menerjemahkan ajaran apa yang termaksud dalam sila-sila Pancasila. Misal, sila pertama disebutkan, Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya menjadikan Tuhan, sebagai acuan utama. Praktiknya adalah melalui ibadah-ibadah agama.

Kegagalan memaknai sila-sila Pancasila menjadikan banyak orang menerapkan secara parsial atau terpisah-pisah, sehingga mengaku Pancasila hanya karena melakukan sebagian kecil dari maksud Pancasila.

Kedua, tidak mudah mencari teladan. Ini juga menjadi problem besar Bangsa Indonesia, mencari model orang yang Pancasilais, sehingga orang dengan mudah akan merujuk. Kalau ingin menjadi Pancasila, berarti mencontoh Pak D atau Bu E, misalnya.


Ketiga, memposisikan Pancasila secara keliru. Ketika Pancasila diposisikan sebagai simbol, sebagai barang, atau sebagai tameng untuk kepentingan partai, golongan atau kelompok, maka Pancasila akan terlihat dan ditafsirkan sesuai kepentingan partai, golongan dan kelompok. Padahal Pancasila digali dari nilai-nilai kehidupan Bangsa Indonesia.

Maka Pancasila tidak boleh direndahkan sebagai komoditas yang dijual untuk kepentingan remeh-temeh.

Menarik jika menyimak ulasan KH Agus Salim, salah satu penandatangan Piagam Jakarta.
Republik Indonesia berdasarkan ‘Pancasila’ yang terkandung di dalamnya lima pasal, pokok-pokok idiologi yang diberi nilai terpenting dalam pendirian Republik kita, sebagai negara merdeka dan berdaulat. Merdeka artinya negeri dan rakyat tidak takluk kepada dan tidak tunduk di bawah kekuasaan asing. Berdaulat, artinya negeri dan rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk mengadakan dan menjalankan hukum atas negeri dan bangsa sendiri.

Sekarang, apakah rakyat punya kuasa?

[r]

LihatTutupKomentar