Setelah selesai menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan, umat muslim
akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Ada makanan khas saat idul fitri yakni
ketupat. Atau dalam Bahasa Jawa dikenal dengan sebutan Kupat.
Ternyata penyajian Kupat saat Idul Fitri bukan semata sebagai
hidangan kuliner semata. Melainkan ada makna filosofi di baliknya.
Kupat ternyata merupakan kerata basa atau jarwa dhosok
artinya kata Kupat merupakan kependekan dari dua kata yang digabungkan. Kupat
dapat dimaknai sebagai Ngaku Lepat atau Laku Papat.
Ngaku Lepat (mengaku salah), artinya momentum Idul Fitri menjadi
momen untuk mengakui kesalahan kepada sesama manusia dan saat meminta maaf.
Maka tidak heran kemudian dikenal tradisi sungkeman. Meminta maaf kepada orang
tua, saudara maupun tetangga sekitar.
Laku Papat (empat tindakan) terdiri dari lebaran, luberan,
leburan dan laburan.
Lebaran dimaknai dengan rampungnya masa berpuasa. Bermula dari kata
lebar yang berarti selesai.
Luberan diartikan meluber atau melimpah sebagai simbol agar
meningkatkan kepedulian kepada sesama dengan berbagi. Rizki yang dimiliki
diluberkan kepada saudara, tetangga dan kepada yang membutuhkan.
Leburan artinya meleburkan atau menghapus dalam hal ini segala
kesalahan baik secara lahir maupun batin dengan saling bersalaman, sungkeman
dan meminta maaf. Untuk saling memaafkan. Karena dosa sesama manusia tidak
hilang sebelum saling memaafkan.
Laburan berasal dari kata labur atau kapur sebagai simbol kembali
kepada kesucian. Labur identik dengan putih. Bisa juga dimaknai dengan jernih.
Setelah sebulan berpuasa dan beribadah mengharap ampunan Tuhan. Maka momentum
Idul Fitri menjadi saat mengharap maaf dari sesama manusia.
Sehingga selepas Idul Fitri diharapkan seorang manusia telah
mendapatkan ampunan dari Tuhan dan sesama manusia. [KM/05]